Minggu, 26 Juni 2016

berRakit-Rakit ke Air Terjun Sri Gethuk, berRenang-Renang Pulangnya






“Ke Air Terjun Sri Gethuk yok” ajak si ayah. Hadeh. Aku sebenarnya paling males mengunjungi tempat wisata yang berupa air terjun. Biasanyakan kita harus jalan jauuuuhh dan menanjak untuk bisa mencapai lokasi air terjun. “Air terjun yang ini beda, kita naik perahu menyusuri sungai untuk bisa sampai ke lokasi air terjun” lanjut si ayah yang melihat kegalauanku, males jalan kaki jauh. Wah, ini baru asyik. Aku langsung mengangguk dengan semangat.
 
jalan tanah yang harus dilewati kendaraan

Gunung Kidul yang sedang terkenal karena Goa Pindul-nya, ternyata juga mempunyai wisata air terjun yang cantik. Terletak di Dusun Menggoran, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, air terjun ini bisa dibilang unik. Untuk mencapai lokasi air terjun, kita cukup duduk manis di atas rakit, menyusuri sungai Oyo.
 
rakit menyusuri Sungai Oyo

Air terjun ini belum begitu ramai dikunjungi wisatawan, mungkin karena jalan kendaraan menuju pintu gerbang air terjun masih sempit dan masih berupa jalan tanah, belum bisa dilalui bus pariwisata yang besar.

Untuk mencari lokasi air terjun cukup mudah, asal kita sudah masuk Kecamatan Playen Gunung Kidul, banyak papan petunjuk jalan yang dapat kita temukan. Tapi jangan kesorean datang kesini ya, soalnya jam 4 sore tempat ini sudah ditutup.
 
bebatuan yang membentuk undak-undakan
Tiket masuk ke objek wisata ini adalah Rp10.000 sedangkan ongkos parkir mobil Rp5.000. Nah, untuk ongkos kita naik rakit menuju lokasi air terjun, kita harus membayar lagi sebesar Rp10.000.



Perjalanan menyusuri sungai ini mirip seperti pengalaman menyusuri Green Canyon di Pangandaran, dengan tebing tinggi berwarna hijau mengepung kita di kiri kanan, sehingga banyak orang menyebut tempat ini sebagai Green Canyon-nya Yogyakarta.

Suara gemuruh air terjun sudah terdengar dari kejauhan, ditimpali suara tawa yang membahana dari para pengunjung air terjun, yang dengan riangnya melemparkan tubuh mereka dari batuan yang tinggi, ke air sungai Oyo yang tenang.



Di bawah air terjun, tampak bebatuan indah yang membentuk undak-undakan, membuat siapa saja yang melihat ingin duduk di undak-undakan itu dan dibanjiri air yang melimpah. Meskipun Gunung Kidul terkenal sebagai daerah yang kering, tetapi air terjun ini tidak pernah kekurangan air, air selalu mengalir melimpah disini, sehingga tempat ini dapat dikunjungi kapan saja tanpa mengenal musim.













Pengen nyobain berenang pas perjalanan pulang? Bisa juga kok, kalo nggak capek. Ini nih contohnya.
ber-rakit2 ke Sri Gethuk, ber-renang2 pulangnya
Oh ya, kalau datang kesini, kalau bisa jangan pas musim banyak hujan ya, soalnya airnya cokelat kalau pas banyak hujan. Lihat nih perbedaan warna airnya.
warna air bulan Mei 2016
 
warna air bulan November 2016

Paket Wisata
Body Rafting Rp35.000,-
lengkapi wisata anda dengan paket body rafting, menyusuri aliran sungai oyo dengan menggunakan safety pelampung, ditemani pemandu yang ramah dan terlatih.

Flying Fox Rp25.000,-
nikmati sensasi meluncur di atas aliran sungai oyo sejauh 125 m.

Canyoning Rp125.000,-
uji adrenalin anda dengan paket canyoning / rapling, menuruni aliran air terjun sri gethuk dengan peralan dan instruktur yang berpengalaman @125.000 minimal 10 orang.

Baca juga :
Punthuk Setumbu, tempat Cinta & Rangga berduaan 
Monumen SLG, kembarannya Arc de Triomphe Paris 
Wajah Kelud Pasca Letusan Dahsyat 2014 
Paku Jawa, Titik Tengahnya Pulau Jawa

Kamis, 16 Juni 2016

Berburu Koala di Great Ocean Road



Jam 7 pagi, aku sudah berada di dalam sebuah mobil travel berkapasitas 20 orang. Sepasang kekasih di depanku, asyik mengobrol dengan bahasa Perancis. Dua orang lelaki di sebelahku, saling menyapa dalam bahasa Jerman. Dua pasang muda mudi di belakangku, berasal dari Hongkong. Kemudian di tempat duduk paling depan, dua orang berkulit hitam yang sepertinya orang Afrika, juga saling menyapa dengan ramah. Heboh sekali mobil yang kunaiki ini, heboh dengan percakapan aneka macam bahasa.

Ya, aku sedang mengikuti acara tour menyusuri Great Ocean Road, menumpang travel ‘Bunyip Tour’ yang berkantor di Flinder St. Melbourne dengan paket wisata seharga AUD 125. Sebenarnya ada 2 paket wisata lain yang menarik perhatianku, yaitu ‘Philip Island’ (melihat penguin di pantai) seharga AUD 115 dan ‘Grampians’. Tetapi apa daya, berhubung uang saku pas-pasan, aku hanya mampu membayar satu paket wisata saja. (untuk musim dingin, biasanya harga paket tur lebih murah dibanding ketika summer)

Great Ocean Road merupakan sebuah jalan yang memanjang di pesisir selatan Australia sepanjang 243 km dan membentang antara Geelong dan Warnambool di Negara Bagian Victoria.

Hari masih gelap ketika mobil kami mulai melaju ke arah barat, keluar dari kepungan gedung-gedung tinggi Kota Melbourne. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi, matahari memang belum menampakkan wujudnya. Di Australia, matahari baru bangun jam 8 pagi ketika musim dingin.

Berteman dengan Dingin di AngleSea
Keluar dari Melbourne, kami memasuki sebuah kota kecil bernama Geelong. Dari Geelong kami ke selatan, ke arah laut. Tempat pemberhentian pertama kami adalah AngleSea. Disini kami menghangatkan tubuh yang membeku kedinginan, dengan secangkir kopi panas dan biskuit yang keras (semua biskuit di Australia kebanyakan keras dan tidak bisa digigit).

Mulai dari AngleSea inilah, laut yang maha luas membentang, dengan setia menemani perjalanan menyusuri Great Ocean Road.

Gerbang Great Ocean Road yang Sederhana
Setelah 15 menit istirahat, kendaraan kami kembali melaju menyusuri garis pantai. Tidak berapa lama kemudian, kami memasuki gerbang bertuliskan Great Ocean Road. Gerbang ini sangat sederhana bila disandingkan dengan nama besar Great Ocean Road. Dari gerbang, kami kembali melewati kota kecil lainnya yaitu Lorne.
gerbang yang sederhana


Menemukan Koala di Kennett River
Meninggalkan Lorne di belakang kami, kami melaju ke arah Kennett River. Ditempat ini, kami kembali beristirahat. “Banyak koala liar berkeliaran disini. Be careful. You will find them on the trees. Goodluck” kata si tour guide yang berasal dari Belanda tetapi sudah lama tinggal di Australia.

Koala? Kalau Kanguru liar dan Possum aku sudah pernah melihat di Australia ini, tetapi kalo Koala, aku belum pernah melihatnya. Dengan antusias aku berjalan semakin masuk ke dalam hutan, sambil kepala tidak berhenti mendongak ke atas, ke rimbunnya dedaunan.

Sudah ratusan langkah aku berjalan, puluhan pohon kulewati, tetapi tidak satu koala pun kutemui. “Maybe you should climb the trees to find koala” kata seorang peserta tour yang juga sibuk mencari koala sama sepertiku.

Masak sih aku harus manjat pohon? Ketika aku masih menimbang ide memanjat pohon, tiba-tiba ada peserta tour lain yang berteriak. “Look!” teriaknya sambil menunjuk pohon yang tinggi menjulang di atas kepalanya. Sambil berlari tergesa, aku mendatangi pohon yang ditunjuknya.
sssssttt, koala nya lagi bobok


Setelah beberapa saat mencari, akhirnya aku menemukannya. Seekor binatang berbulu abu-abu dan bertelinga bundar, sedang memeluk batang pohon. Matanya terpejam dengan rapat. Beberapa menit aku menanti, koala itu tidak juga membuka matanya. Panggilan tour guide untuk melanjutkan perjalanan terdengar di kejauhan. Dengan kecewa aku kembali berjalan ke arah kendaraan, meninggalkan koala yang tidak kunjung membuka matanya. Dasar koala pemalas, kerjaannya tidur mulu.
peserta tour kembali ke kendaraan

Naik, naik, ke Puncak Cape Otway Lightstation
Dari Kennett River, kami kembali melaju melewati SugarLoaf dan Wongarra. Di sebuah pertigaan, kami berbelok ke kiri, keluar dari jalur Great Ocean Road. Papan petunjuk jalan bertuliskan Cape Otway Road terpasang di pinggir jalan. Banyak sapi berkeliaran di sepanjang jalan ini, beberapa bahkan berdiri di tengah jalan, sehingga sopir harus turun dari kendaraan untuk menghalau sapi-sapi ini.

Setelah melewati jalan kecil dan berliku, kami sampai di Cape Otway Lightstation, sebuah mercusuar tertua di Australia setinggi 20 m dan dibangun pada tahun 1846. “We have lunch in this place. Enjoy your lunch” kata si sopir.
Zita dan Cape Otway Lightstation
Makan siang terdiri dari macaroni, sosis berukuran jumbo, roti keras, dan aneka warna dedaunan (ada yang warna hijau, merah, ungu, dan oranye, entah daun apa) sebagai salad atau lalapan kalo di Indonesia. Kami makan sambil menikmati pemandangan sebuah Lighthouse yang berlatar birunya air laut.
makan siang dan sebuah lighthouse di kejauhan


Selesai makan, kami mulai berjalan ke arah lighthouse, dan meniti seratusan anak tangga yang memutar menuju puncak atas lighthouse. Pemandangan dari atas menara ternyata menakjubkan. Anginnya kencang menambah dingin menjadi semakin dingin. “Awesome” teriak turis Perancis di sebelahku.
penampakan dari puncak lighthouse
Karena puncak lighthouse sangat sempit, kami harus bergantian menikmati pemandangan indah ini. “Scary?” tanya pria berkulit hitam dalam rombonganku ketika kami berpas-pasan di pintu lighthouse. “Not really” jawabku sambil memasang tampang sok cool, padahal aku takut juga berada di atas sana. Pria berkulit hitam itu tersenyum lebar sekali memamerkan giginya yang putih bersih, sangat kontras dengan warna kulitnya yang sehitam malam.


Twelve Apostles yang sudah tidak berjumlah twelve lagi
Kembali menyusuri Great Ocean Road, tempat selanjutnya yang kami kunjungi adalah Twelve Apostles yang berada di Princetown Victoria. Twelve Apostles merupakan formasi bebatuan yang berupa pilar dengan berbagai bentuk, berdiri terpisah dari daratan. “Jumlah pilar batu ini sekarang hanya tinggal 8, karena selalu dilanda erosi, menyebabkan beberapa batuan kapur itu roboh” begitu kira-kira penjelasan tour guide. Aku harus memperhatikan dengan cermat mulut si tour guide tiap kali dia ngomong. "Ngomong apa sih dia?" tanyaku pada si ayah yang lebih fasih berbahasa Inggris. Perkataan tour guide ketika aku di Thailand dulu, lebih bisa aku mengerti dibanding tour guide asal Belanda ini.
Twelve Apostles

Disisi lain dari Twelve Apostles, ada tebing batu lain yang tidak kalah keren. Tapi kalo aku perhatikan sih, mirip Uluwatu di Bali.

Helikopter terbang berputar-putar di atasku, membawa turis yang ingin menikmati pemandangan dari angkasa. Untuk dapat menaiki helikopter ini, kamu harus membayar sejumlah $95 per orang.
mirip Uluwatu nggak sih? Mungkin ini Uluwatu-nya Australia kali ya.


Kaki Terbenam di Loch Ard Gorge
Tempat terakhir yang kami datangi adalah Loch Ard Gorge, hanya berjarak 5 menit berkendara dari Twelve Apostles. Untuk mencapai Twelve Apostles maupun Loch Ard Gorge, kita harus berjalan kaki jauh. Bedanya, kalo di Twelve Apostles jalannya datar, tetapi kalo di Loch Ard Gorge ini jalannya turuuunn ke bawah, pakai tangga kayu yang dipasang diantara batuan dan pasir pantai. Turunnya sih enak, pulangnya itu lho, naiiikk bikin ngos-ngos-an.

Begitu kaki menginjak pasir pantai, ternyata sepatuku langsung terbenam ke dalam pasir. Haduh, kayaknya enak nih kalo jalan di pasir bertelanjang kaki, tapi di musim dingin begini, nggak mungkin lah aku copot sepatu, bisa-bisa kaki membeku kedinginan. Tips : pakailah boot setinggi lutut jika kamu datang kesini di musim dingin, kalo sepatunya pendek, bisa-bisa sepatumu penuh berisi pasir pantai yang menelan kakimu.
Loch Ard Gorge

Hotel Mewah si Hitam
Dalam perjalanan pulang, kami diantar ketempat penginapan kami masing-masing. Ternyata hotel-hotel yang ditempati oleh orang-orang dalam rombonganku ini keren-keren, sepertinya hanya aku yang menginap di hostel sederhana dan murah.

Ketika kendaraan berhenti di depan Crowne Hotel yang super megah, aku tebak-tebakan sama si ayah. “Siapa ya yang nginep di hotel mewah ini?” tanyaku sambil memperhatikan petugas berseragam keren yang berdiri di samping pintu hotel, dengan setia membawakan koper para tamu hotel. “Paling pria-pria Jerman itu” kata si ayah menunjuk dua lelaki Jerman yang emang terlihat seperti orang kaya. “Kayaknya sih bukan orang Perancis di depanku ini” kataku menunjuk dua muda mudi Perancis yang sedang berciuman di depanku.

Aku dan si ayah berdebat dengan suara lantang, tanpa perlu berbisik, karena di dalam mobil ini hanya aku dan si ayah yang bisa bahasa Indonesia, yang lain sih kayaknya nggak ngerti apa yang kuperbincangkan dengan si ayah. Tanpa diduga, si pria muda berkulit hitam gelap, berambut keriting kriwil, yang hanya membawa tas slempang kecil, dan berpenampilan sangat sangat sederhana, berdiri dan melambai ke semua rombongan “Bye. Nice to meet you all” katanya masih dengan senyum lebar yang selalu terpasang di wajahnya.

“Tuh orang anggota keluarga raja kali ya ditempat asalnya, bisa nginep di hotel mewah ini” kataku pada si ayah. “Hotelnya ada di gang sempit di belakang Crowne Hotel ini kali” kata si ayah ngeyel masih belum percaya kalo si cowok yang terlihat sederhana itu mampu membayar tarif Crowne Hotel yang super mewah. Kami berdua memperhatikan pria berkulit hitam yang berjalan masuk kedalam Crowne Hotel, dan diberi sambutan dengan hormat oleh petugas hotel. Keren tuh orang, meskipun kulitnya hitam tam, tapi ramah banget, bikin penampilannya menarik.

Dan esok harinya aku nongkrong di depan hotel ini, di pinggir Yarra River, siapa tau ketemu pria hitam itu lagi.
si pria hitam terlihat di latar belakang, pake sweater biru dan tas slempang (lokasi : AngleSea)


Catatan : Seharian menyusuri Great Ocean Road? Kayaknya waktunya kurang deh. Kalo mau puas, kamu bisa menyewa mobil maupun caravan dan menginap di kota-kota kecil yang banyak tersebar di sepanjang Great Ocean Road, seperti Apollo Bay, Lorne, Torquay, Peterborough, Lavers Hill, dsb. Kalo ikut paket tour, baru nongkrong 10 menit, udah dipanggil disuruh buruan naik ke mobil lagi. Hadeh, blom puas foto-foto nih. Buat jalan kakinya aja butuh waktu berpuluh-puluh menit.

Baca juga :
- tentang Adelaide
- tentang Melbourne
- tentang Sydney
- Custom Sydney Airport