Selasa, 29 September 2015

Jakarta dan sekitarnya


Suatu hari, di dalam Taksaka Malam yang sedang berlari, Zita kecil berdiri sambil makan roti, di antara penumpang yang terlelap dalam mimpi. Hihihihi. Di usianya yang ke satu tahun, untuk pertama kalinya Zita menempuh perjalanan menuju Jakarta, ketempat ayahandanya berada. Sama seperti anak lainnya yang baru bisa berjalan, Zita kecil tidak henti-hentinya mengajak berjalan, dari satu gerbong menuju gerbong lainnya dalam rangkaian kereta yang super panjang. Semua orang yang ditemui disapanya dengan bahasa bayi. “hab bu bih bla wau” katanya nggak jelas ngomong apa kepada seorang nenek yang langsung mencubit pipi Zita dengan gemas. Sungguh sangat merepotkan sekali perjalanan malam itu. Oleh karenanya, kita tinggalkan saja Taksaka Malam yang masih berlari kencang, menuju sebuah tempat di jantung ibukota.



Berdiri tegak tak tergoyahkan
            Monumen Nasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan Monas. Bangunan setinggi 137 m itu mulai dibangun pada tahun 1961 oleh arsitek bernama Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono. Puncak Monas dimahkotai oleh lidah api dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala.

            Zita kecil dengan santai duduk di tengah jalan yang mengelilingi Monas, tidak mempedulikan orang dan sepeda yang berkeliaran di sekitarnya. Dulu ketika aku masih SD, aku sering mengunjungi Monas, dan waktu itu, jalan disekeliling Monas yang sekarang menjadi tempat asyik untuk Zita meletakkan pantat, dulunya jalan ini bebas dilalui oleh kendaraan baik mobil maupun motor. Jadi ketika aku berjalan dalam terowongan yang menuju halaman Monas, diatasku banyak berseliweran kendaraan yang lewat. Tetapi sekarang, ternyata jalanan ini sudah ditutup. Hanya pejalan kaki yang boleh memasuki kawasan ini, dan sesekali ada kereta pengantar lewat, yang membawa rombongan turis dari tempat parkir menuju pintu masuk Monas.




Kunjungan pertama Zita ke Jakarta hanya berlangsung selama dua minggu waktu itu. Karena gigitan udara panas Jakarta yang membuat kulit Zita merah-merah, akhirnya kami kembali ke sejuknya udara Magelang yang masih banyak berkabut.

            Kemudian di usianya yang menginjak angka tiga tahun, Zita kembali ke Jakarta, kali ini dalam waktu yang lama, karena aku dan Zita ikut tinggal bersama si ayah di daerah Bogor. Sebulan dua kali, Zita rutin mengunjungi Monas di sore hari, sambil menunggu ayah pulang kerja. Jam lima sore ketika kantornya ayah yang terletak di daerah Tugu Tani tutup, si ayah berjalan ke arah Monas, menemui Zita yang biasanya sedang asyik bermain bersama rusa yang banyak terdapat disitu. Kami bertiga menikmati Monas yang berwarna-warni di malam hari, berlatarkan bintang-gemintang yang berkerlip di luasnya langit, dalam dekapan udara yang menggigit. Jam delapan malam biasanya kami baru beranjak, kembali melangkah, ke arah Stasiun Gambir untuk kemudian naik KRL menuju Bogor.

            Selain Monas, masih banyak tempat lain di Jakarta dan sekitarnya yang kami kunjungi. Diantaranya adalah Ancol, Istana Bogor, TMII, Safari, Taman Matahari Bogor, Pasar Baru, Kota Tua, Pasir Mukti, Sentul, dsb.



Selama tinggal di Bogor, setiap dua bulan sekali aku dan Zita pulang ke Magelang. Sejak itulah aku mulai menyiapkan ‘dua tiket’ tiap kali bepergian.
pasar baru

masjid di daerah Sentul

















melihat rusa di halaman Istana Bogor

Baca juga :

- Bentuk Unik Kawah Kelud
- Terowongan Bendungan Jatiluhur
- Sunrise di Bromo
- Wisata ke Bali

Sabtu, 19 September 2015

Bentuk Unik Kawah Kelud

Starlet berwarna biru melaju pelan melintasi perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur. Magelang sebagai tempat awal perjalanan ini sudah tertinggal jauh. Jogja, Klaten, Solo, dan Sragen berhasil kami lewati dengan mulus. Di depan masih ada Ngawi dan Nganjuk yang harus kami taklukan dengan mobil tua ini. Dan tujuan akhir yaitu Kediri, masih jauh dari jangkauan mata.

Zita kecil yang berumur tujuh bulan, tertidur pulas di pangkuanku. Matanya terpejam, titik-titik keringat bermunculan di dahinya akibat teriknya sang surya yang menembus masuk melalui kaca mobil. Mobil tua kami tidak kuat menahan gempuran panas yang datang bertubi-tubi. Si ayah yang duduk di belakang kemudi, bersenandung males dengan suara yang fales, membuat wabah kantuk yang mulai menyerang semakin merajalela.

Singkat cerita, perjalanan yang banyak diselingi oleh tangis bayi itu hampir berakhir. Zita kecil mulai rewel karena bosan berada di dalam mobil. Tangisannya selalu pecah melalui mulut mungilnya yang belum bisa berkata-kata.

Tujuh jam perjalanan santai kami berakhir di desa Tiron, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri. Starlet biru yang kami kendarai, memasuki halaman luas rumah kakak iparku. Akhirnya satu perjalanan selesai sudah. Dan perjalanan berikutnya yang tidak kalah menarik telah menanti kami di hari selanjutnya.

Kota serba merah
Keesokan paginya, kami kembali melaju, kali ini dengan menggunakan APV pinjaman dari kakak ipar. Starlet tua kami istirahatkan sejenak, setelah langkahnya menemani kami sepanjang perjalanan sejauh 280 km Magelang – Kediri.

Pagar memanjang berwarna merah langsung menyambut kedatangan kami begitu APV memasuki kota Kediri. Merah. Dimana-mana hanya ada warna merah. Kota Kediri dipenuhi oleh warna merah Gudang Garam. Ya, itulah salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia.

Seperti Akademi Militer yang luas membentang di tengah-tengah Kota Magelang, luas pabrik Gudang Garam pun menguasai hampir seluruh Kota Kediri. Pagar berwarna merah terlihat hampir disetiap sudut kota. Aroma wangi tembakau menyelusup masuk melalui hidung yang mengembang.

Tugu megah di simpang jalan
Ikon Kediri selain Gudang Garam adalah Tugu megah yang sering disebut sebagai Monumen Simpang Lima Gumul. Dinamakan Monumen Simpang Lima karena tugu ini terletak di pusat pertemuan lima jalan yang menuju ke Gampengrejo, Pagu, Pare, Pesantren, dan Plosoklaten. Mulai dibangun pada tahun 2003 dan diresmikan pada tahun 2008, bentuk bangunan tugu ini menyerupai Arc de Triomphe yang berada di Paris, Perancis.

Panjang meliuk bak ular raksasa
Selain Gudang Garam dan Simpang Lima Gumul, hal menarik lainnya yang aku lewati adalah Sungai Brantas. Sungai yang memanjang sejauh 320 km ini merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Mata air Sungai Brantas berasal dari simpanan air Gunung Arjuno, yang mengalir melewati Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Mojokerto. Di Mojokerto, sungai ini bercabang dua, satu cabang ke arah Surabaya bernama Kali Mas, dan cabang lainnya mengalir ke arah Porong Sidoarjo. Sungai Brantas juga mengalir mengelilingi sebuah gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud, tempat tujuan kami, yang berjarak 27 km dari pusat Kota Kediri.

Sang Kelud yang melegenda
Dia berdiri kokoh di depanku, menjulang tinggi menggapai langit. Aku hanya sebesar semut di bawah kakinya. Dialah Sang Kelud, salah satu gunung paling aktif di Indonesia, yang telah meletus lebih dari 30 kali, dan telah memakan korban lebih dari 15.000 jiwa sejak abad ke-15.

Dari kaki-kaki besar Gunung Kelud yang menancap kuat di tanah, mobil kami bergerak tersendat-sendat ke atas, setapak demi setapak kami lewati dengan mata tak berkedip, terpesona oleh keindahan yang disuguhkan sang alam.

Sampai di halaman parkir kawasan kawah Kelud, udara dingin langsung menyergap begitu kaki menginjak tanah, keluar dari lindungan tembok mobil. Di sebelah lahan parkir, berdiri tiang-tiang berwarna merah, yang diujungnya terpasang kuat tali-tali panjang sebagai jalur flying fox yang membentang jauh menuju tiang satunya yang terletak di seberang lembah. Ya, jalur flying fox disini sangatlah panjang, membentang lurus diatas lembah yang dalam. Lumayan juga nih kalau sampai jatuh.

Zita kecil di puncak Kelud
“Awas mbak anaknya, kalau masuk lewat terowongan dingin banget lho” kata seorang perempuan muda berkaos putih yang berjalan santai lewat disebelahku. “Oh iya, terima kasih ya” kataku merespon secara reflek. Hah? Terowongan? Terowongan apa sih maksudnya? Aku tidak mengerti.

Sebelum menuju kawah, kami berfoto-foto terlebih dahulu diketinggian puncak Kelud, dengan latar belakang pemandangan indah nun jauh di bawah kami. “Wah berani banget mbak, bawa bayi kesini. Kalau masuk terowongan bisa meriang lho bayinya, dingin banget soalnya di dalam terowongan” kata mas-mas petugas flying fox. Terowongan lagi yang dibahas? Aku jadi semakin penasaran melihat terowongan dingin yang dimaksud.

terowongan menuju kawah Kelud

Dengan tidak sabar, aku melangkahkan kaki menuju terowongan. Dan benar saja, di dalam terowongan, angin dingin berhembus, entah darimana asalnya. Aku mendekap Zita dengan erat, melindunginya dari hawa dingin yang berkeliaran disekitar kami.

Begitu sampai di ujung terowongan, itu dia di depanku, kawah Gunung Kelud. Lho, tapi kok? Bentuknya tidak seperti kawah pada umumnya yang berupa cekungan dalam membentuk danau kawah. Kawah Gunung Kelud yang berada di hadapanku ini menggelembung ke atas membentuk bukit kecil.

Zita kecil masih dalam gendongan
Aku memang tidak tahu apa-apa mengenai Kelud waktu itu. Aku hanya mengiyakan ajakan suami untuk mengunjungi kakaknya di Kediri. Karena sewaktu SMA aku dan suami hobi naik gunung, begitu suami mencetuskan ide untuk mengunjungi kawah Kelud, aku langsung mengiyakan tanpa mempelajari terlebih dahulu situasi yang akan kami datangi. Aku baru tahu tentang terowongan dan bentuk kawah yang aneh setelah sampai rumah aku googling tentang Kelud.

Berdasarkan informasi yang kudapat, terowongan yang dimaksud disini adalah terowongan Ampera, yang selesai dibangun pada tahun 1967. Tujuan pembangunan terowongan ini adalah untuk menjinakkan letusan Gunung Kelud yang kerap eksplosif.

Sedangkan untuk bentuk kawah yang unik, yang aku datangi pada bulan februari 2009, beginilah ceritanya.

Pada tahun 2007, Kelud meletus dengan letusan-letusan kecil, tidak seperti biasanya yang selalu meletus secara eksplosif dalam letusan besar yang dahsyat. Letusan-letusan kecil ini kemudian menghasilkan suatu sumbat lava berbentuk kubah. Pada akhir September 2007, aktivitas gunung ini meningkat. Status ‘awas’ dikeluarkan pada tanggal 16 oktober, yang menyebabkan penduduk dalam radius 10 km dari gunung tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak terjadi.

Aktivitas Gunung Kelud kembali meningkat pada tanggal 30 oktober 2007. Kemudian pada 3 november 2007, suhu air danau kawah mencapai 74 derajat celcius (suhu normal gejala letusan adalah 40 derajat celcius). Penduduk kembali mengungsi, tetapi letusan lagi-lagi tidak terjadi.

Akibat aktivitas tinggi tersebut, terjadi gejala unik dalam sejarah Kelud dengan munculnya kubah lava dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5 november dan terus tumbuh hingga berukuran selebar 100 m. Para ahli menganggap kubah lava inilah yang menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak terjadi. Danau kawah Gunung Kelud hilang karena munculnya kubah lava tersebut. Dan kubah lava inilah yang aku lihat pada februari 2009 sebagai sebuah bukit di kawah Kelud.

Lihat foto lainnya di fb : tyas susilaning

Baca juga :
Tempat Wisata di Jakarta
Terowongan Waduk Jatiluhur
Sunrise di Bromo
Wisata di Bali