Senin, 22 Februari 2016

Minum Air Cebokan di Sydney


Hari ini matahari malu-malu menampakkan dirinya. Mendung menggantung di langit, awan hitam berkumpul siap menumpahkan bebannya ke bumi. “Ayo cepat, ntar keburu hujan” teriak si ayah.
Aku berjalan cepat, sedikit berlari, berharap bisa mengalahkan awan hitam yang bergulung cepat ke arahku. Dan di kejauhan, itu dia… bangunan putih Opera House yang selama ini hanya bisa kulihat di televisi dan gambar-gambar kalender, sekarang berdiri megah di depan mataku.

Aku mengambil foto dengan cepat, di bawah naungan awan hitam yang telah lelah menggantung di langit. Udara musim dingin di Sydney yang rata-rata berkisar 3-5derajat, ditambah gerimis yang mulai turun, membuat tubuhku menggigil dan gigi bergemeletuk meskipun badanku sudah kubungkus dengan jaket berlapis-lapis.
Aku sampai heran, kok ya masih ada saja orang yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek, seliwar seliwer di depanku. Terbuat dari apa ya kulit mereka? Yang pasti tidak seperti kulitku yang tumbuh di daerah tropis nan panas dan jarang menerima serbuan udara super duper duingin seperti ini.

Opera House di bawah gemerlap awan hitam

Bagaimana rute perjalananku bisa sampai Opera House? Begini nih ceritanya.

Awal Mula
Aku terbang dari Indonesia dan mendarat di Sydney, bersamaan dengan si ayah yang terbang dari Adelaide. Setelah dag dig dug melewati custom, kami bertemu di ruang tunggu Sydney International Airport, lalu berjalan bersama ke stasiun bawah tanah yang masih satu bangunan dengan bandara. Karena masih berada di dalam bangunan yang berpenghangat, udara musim dingin Sydney yang membekukan tulang belum bisa kucicipi.

Tiba di loket stasiun, si ayah membeli tiket Transport Sydney Trains (seperti KRL kalau di Jakarta) seharga AUD 17 per orang (AUD=dolar Australia). Harga AUD 17 ini termasuk mahal karena aku naik kereta dari stasiun bandara. Tetapi kalau naiknya dari stasiun di luar bandara, harga tiketnya nggak nyampai AUD 5 lho. Jadi kalau mau sih, kamu keluar dulu dari bandara, terus cari stasiun terdekat dari bandara, biar bisa dapat harga tiket murah.

Si ayah yang sudah setahun tinggal di Adelaide dan sudah mengelilingi Australia dari Sydney di ujung timur sampai Perth di ujung barat, dengan cuek melewati pintu masuk stasiun menggunakan tiket yang dia beli, meninggalkan istri dan anaknya yang baru satu jam lalu menginjakkan kakinya di Australia untuk pertama kali.

kerlip Sydney di pekatnya malam

“Yah! Gimana nih cara buka pintunya?” kataku di depan pintu masuk stasiun sambil melambaikan tiket kecil di tanganku. Di Australia, tidak ada penjaga pintu seperti di Indonesia. “Masukin saja ke lubang” kata si ayah dari seberang pintu. Dia sudah terlanjur berada di dalam, kalau keluar lagi harus membeli tiket lagi. Aku memasukkan tiket ke lubang. ‘tet tot’ suara nyaring terdengar dan tiketku terlempar keluar lagi.

Di belakangku, ada seorang pria bule menyapaku “Can I help you?” Wuih, keren nih bule, ganteng banget. Mendadak amnesia deh kalo dah punya suami, hehehe. Kenapa ya bule itu selalu ganteng, nggak ada yang jelek. Dengan senang hati aku langsung menjawab “Yes, please. How to use this ticket? It’s my first time”. "Really? And where are you from?" "Indonesia." "Wow. I love Bali." Yeah. Indonesia selalu identik dg Bali, apalagi utk orang Ausi. Siapa sih yg nggak kenal Bali? Keren nih Bali.

Si pria bule itu memasukkan tiketku ke dalam lubang, ‘ting tong’ tiketku ditelan oleh mesin, dan meloncat keluar dari lubang yang lain. Kayak kuis saja nih, kalau salah bunyinya ‘tet tot’ kalau benar ‘ting tong’ pikirku.

Dengan segera aku masuk melewati pintu yang menjeblak terbuka, takut pintunya keburu menutup lagi. “Thank you” teriakku pada si pria bule di seberang pintu. “Anytime” jawabnya ramah sambil melambaikan tangan.

Di stasiun bawah tanah, mataku terus menatap lorong gelap tempat kereta seharusnya muncul sebentar lagi. Seperti apa ya kereta di Australia? Ternyata, wow, keretanya tingkat!
kereta tingkat di Sydney, bule di latar belakang ikut heboh berfoto

Masuk ke dalam kereta, ternyata banyak kursi kosong tersedia, tidak seperti KRL di Jakarta yang mau masuk saja harus rela badan kejepit sana sini diantara penumpang lain. Ya iyalah, secara penduduk Jakarta kan buanyak banget, sementara penduduk Australia hanya seuprit alias sedikit.

Sama seperti KRL di Jakarta, di atas pintu Sydney Trains pun ada peta rute jalur kereta. Dari stasiun International Airport tempatku naik, di depanku ada stasiun Mascot, Green Square, Central, Museum, St James, Circular Quay, Wynyard, dan berakhir di Town Hall.

“Kalau mau ke Opera House, kita turun di Circular Quay” kata si ayah. Mendengar kata ‘Opera House’ aku langsung semangat. “Ayok ke Opera House yuk” kataku antusias. “Ntar, kita naroh barang dulu di penginapan, kita ntar turun dulu di stasiun Central”.

Aku langsung kecewa mendengar jawaban si ayah. Tapi benar juga sih, masak mau jalan-jalan bawa koper dan ransel segede lemari? Akhirnya aku nurut saja dengan pasrah.


Berasap Seperti Naga
Keluar dari kereta, udara dingin langsung menyergapku. “Owh, seperti ini rasanya winter yang tidak pernah kutemukan di Indonesia selain harus mendaki sampai puncak gunung dulu” pikirku sambil memeluk diri sendiri, kedinginan. Hahhh… aku menghembuskan napas kencang-kencang melalui mulut, asap keluar dari mulutku, seperti naga. “Keren”, pikirku, “seperti di luar negeri” (lah, emang lagi di luar negeri kan).

Dari Central Station, kami berjalan kaki sambil menyeret koper menuju Sydney Central YHA yang terletak di 11 Rawson Place, Sydney, 2000 NSW. Setelah mengurus administrasi dan mendapat key card (kunci berbentuk kartu), kami masuk lift, naik ke atas menuju kamar kami.



Pintu Yang Tidak Mau Membuka
Keluar dari lift, aku membuntuti si ayah yang celingak celinguk mencari kamar kami. Tiba di depan pintu kamar bertuliskan angka 302, si ayah dengan pe-de memasukkan key card nya ke lubang yang telah disediakan. Lampu berwarna merah menyala. “Kok pintunya nggak kebuka ya? Kuncinya rusak kali ya?” tanya si ayah. Dia kembali memasukkan kartunya, kali ini dengan sisi yang berbeda. Pintu tetap enggan membuka dan lampu merah kembali menyala.

Aku memandang angka 302 di pintu, kemudian mataku beralih ke angka 320 yang tertera di kartu. “Itu angka di kartu 320, bukan 302” kataku. “Owh, ternyata kita salah kamar” kata si ayah cuek kemudian kembali berjalan mencari pintu yang lain.

Aku memandang kamera yang tertancap di sudut, untung alarm tidak berbunyi, bisa-bisa kita disangka mau membobol pintu nih, pikirku.
pelangi di Sydney


Minum Air Cebokan
Sebelum terbang ke Sydney, si ayah sudah mewanti-wanti dari jauh-jauh hari. “Bawa tisu basah yang banyak, semua toilet di Australia tidak ada airnya”. Begitu tiba di Sydney dan pengen buang air kecil, aku ragu-ragu. Sebagai orang Indonesia yang biasa cebok pakai air seember, aku tentu risih kalau disuruh pakai tisu basah doang. Jadi ketika Zita minta ke kamar mandi, otakku berputar cepat seperti gasing, bola mataku menggelinding kesana kemari, dan baru berhenti ketika melihat botol air mineral yang tinggal setengahnya terisi, tergeletak di atas meja. Si ayah sedang tidak ada di dalam kamar, entah ngelayap kemana. Dengan cepat kusambar botol itu dan berjalan ke kamar mandi bersama Zita.
Opera House berselimut gelap malam


Sampai di toilet, aku memenuhi botol itu dengan air dari keran wastafel. Ada tiga bilik berisi WC duduk di sebelah kananku untuk buang air, dan tiga bilik berisi shower di sebelah kiriku untuk mandi. Nggak mungkin kan, habis dari WC terus pindah ke shower buat cebok? Karena untuk pindah itu kita harus melewati wastafel yang biasanya penuh bule sedang sikat gigi. Akhirnya, Zita aku cebokin pakai air dari botol minum, karena kalau pake tisu basah doang kurang puass.

Selesai dari kamar mandi, botol tadi aku taruh di bawah meja, kemudian aku rebahan di kasur. Ketika bangun, kulihat si ayah sudah berada di dalam kamar lagi. Aku mencari botol minum tadi karena kali ini aku yang pengen ke toilet.

“Lihat botol minum yang ada di bawah meja nggak?” tanyaku pada si ayah. “Itu di meja samping, barusan aku pake minum” jawab si ayah sambil menunjuk botol. “Ayah!!! Itu kan tadi botol buat cebok Zita! Kok diminum?” kataku sambil tertawa terbahak-bahak, bwahahahaha.

“Pantesan botol minum kok ditaruh di bawah meja” kata si ayah. “Emang sengaja aku umpetin di kolong meja, biar nggak diminum” kataku masih sambil ngakak.
St Mary's Cathedral

Langkah Kaki Menuju Opera House
Setelah beristirahat sejenak, kami kembali memakai longjhon, mengenakan jaket dobel, membelitkan syal ke leher, membungkus kaki dengan kaos kaki tebal dan sepatu boot, membenamkan kepala ke dalam topi berbulu hangat, dan memakai kaos tangan tebal. Ribet deh kalau tiap kali akan keluar harus menggunakan seragam perang seperti ini. Tidak lupa earmuff aku pasang di telinga biar kepalaku tidak pusing diterjang hawa dingin.
Zita di Royal Botanic Garden


Dari Sydney Central YHA, kami berjalan kaki melewati Belmore Park. “Kalo ke kiri, kita ke Paddys Market, disana ada banyak souvenir bertuliskan Sydney. Hari terakhir saja kita kesana beli oleh-oleh” kata si ayah.

Di ujung Belmore Park, kami menyusuri Elizabeth Street menuju Hyde Park. Kalau kita menengok ke kanan, kita akan menemukan St Mary’s Cathedral. Sedangkan kalau menengok ke kiri, maka Sydney Tower Eye lah yang akan kita temukan.

Berjalan terus ke arah utara, kami sampai di Royal Botanic Garden. Di sebelah kanan taman ini, berdiri dengan megah Art Gallery of New South Wales.
Art Gallery of New South Wales

Dan di ujung Royal Botanic Garden inilah, aku menemukan bangunan putih Opera House yang bersebelahan dengan Sydney Harbour Bridge. Tanpa terasa, kami telah berjalan kaki sejauh kurang lebih 3 km dari Sydney Central YHA menuju Opera House.
Kalau di Indonesia sih ogah jalan kaki sebegitu jauh, panas. Tapi kalau di Sydney, jalan kaki sangat menyenangkan, pejalan kaki sangat dihormati disini, pengendara motor, mobil, maupun bus tidak ada yg berani mengklakson selama kita berjalan sesuai aturan.
Sydney Harbour Bridge di latar belakang
















Baca juga :
- Pengalaman Terbang ke Sydney
- tentang Melbourne
Great Ocean Road
tentang Adelaide

5 komentar:

  1. wkwkwkw, sama Mbak klo ada bule ganteng aku juga mendadak amnesia klo dah punya suami. harusnya... Sampeyan bilang thank you sambil pelukan... :))) *dipelototinsuami

    BalasHapus
  2. lha ntar kalo suami ikutan meluk cwe bule gimana hayo :(

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  4. hehe, kasian suaminya kak minum air dari wastafel..

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus